Monday, November 24, 2008

Kesalahan Konsep ‘Piagam Jakarta’

Diambil dari:

 http://abisyakir.wordpress.com/2008/10/21/kesalahan-konsep-%e2%80%98piagam-jakarta%e2%80%99/

[Perhatian: Untuk menghindari prasangka dan respon tergesa-gesa, mohon dibaca artikel ini secara runut dari awal sampai akhir. Jangan sepotong-sepotong! Terimakasih. Jazakumullah khair].

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillah Rabbil ‘alamin, wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du:

Beberapa waktu lalu, TVOne menayangkan acara Debat Partai antara PBB (Partai Bulan Bintang) dan PDS (Partai Damai Sejahtera). Acara yang tayang 16 Oktober 2008 malam itu menampilkan Sahar L. Hasan dan Anwar Shaleh dari DPP PBB, dan Jos Rahawadan dan Saat Sinaga, keduanya Ketua DPP PDS. Sebagai pendamping adalah Rahma Sarita (untuk PBB) dan Tina Talisa (untuk PDS). Isu utama yang dibahas dalam debat ini adalah penegakan Syariat Islam. PBB mengklaim mendukung penegakan Syariat Islam, sementara PDS bersikap kontra.

Seperti diakui dalam acara di atas, isu Syariat Islam atau Piagam Jakarta dianggap semakin tidak relevan di parlemen, sebab umumnya politisi-politisi Muslim lebih berorientasi ke substansi Syariat, bukan simbol-simbol. Konon, tinggal PBB yang secara formal masih mengangkat isu Syariat Islam. Dalam debat itu, wakil PBB menegaskan bahwa status Piagam Jakarta masih berkekuatan hukum, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ridwan Saidi dalam salah satu bukunya, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, menyatakan hal itu. Al Ustadz Husein Umar –semoga Allah merahmatinya- sampai meninggalnya, beliau sangat concern dengan agenda legalisasi Piagam Jakarta. Tidak segan beliau mengecam ide “Spirit Piagam Madinah” yang diusulkan politisi tertentu, khususnya dari kalangan PKS dan PAN.

Sebelumnya, secara pribadi saya memohon maaf kepada para ustadz, kyai, ajengan, guru-guru kami, dan para aktivis Islam senior, jika dalam tulisan ini saya ingin mengkritisi Piagam Jakarta. Dalam pandangan saya, Piagam Jakarta (disebut juga Jakarta Charter, diresmikan 22 Juni 1945) bukanlah suatu konsep suci yang setara dengan Wahyu, yang tidak mengenal salah dan kekurangan. Sebagai hasil rumusan manusia, bisa saja didapati kekurangan-kekurangan tertentu. Almarhum Syaikh Ibnu Baz, mantan Ketua Majlis Ulama Saudi pernah mengatakan, bahwa kebenaran itu lebih berharga dari apapun juga. Atas dasar spirit memilih kebenaran itulah, saya tulis artikel ini.

Di sisi lain, tidak berarti saya pro dengan konsep “Spirit Piagam Madinah”, sebab sikap keterus-terangan dalam Syariat Islam –selagi hal itu tidak dilarang- lebih baik daripada sikap ragu di dalamnya. Apa yang ditulis ini sebenarnya masih satu koridor dengan cita-cita senior-senior pejuang Islam di Masyumi dan lainnya yang mendambakan tegaknya Syariat Islam di bumi Indonesia. Hanya saja, untuk mencapai cita-cita itu kita harus berjalan di atas konsep yang benar, kuat, dan Islami, sehingga peluang keberhasilannya diharapkan lebih besar. Jika kita memperjuangkan konsep yang salah, khawatir tujuan kita tidak akan pernah tercapai.

Meskipun begitu, apa yang ditulis ini hanya sebatas wacana. Ia bisa benar, bisa juga salah. Saya bersedia berdialog, berdikusi, atau mendengar masukan dan nasehat dari siapapun, jika di dalamnya terdapat kebenaran. Tulisan ini sebatas wacana, jika di dalamnya terdapat kesalahan dan kekurangan, insya Allah saya akan rujuk dengan pendapat yang lebih kuat. Seperti disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa makna Al Jamaah itu adalah sepakat dengan kebenaran, meskipun kita hanya seorang diri. Sekali lagi, kepada guru-guru saya, para senior yang saya hormati, mohon dimaafkan jika ada hal-hal yang tidak berkenan.

Komitmen Syariat Islam

Komitmen kepada Syariat Islam sudah satu paket dengan keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Antara Syariat dan iman, adalah dua perkara yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Syariat tidak akan tegak, jika kita tidak mengimaninya; sementara keimanan tidak akan tumbuh di hati, jika kita tidak melaksanakan amanah Syariat Allah dan Rasul-Nya.

Akidah Ahlus Sunnah menjelaskan, bahwa keimanan itu meliputi: Pembenaran di hati, ikrar dengan lisan, dan pengamalan dengan perbuatan. Ketiganya menyatu, tidak terurai menjadi bagian-bagian terpisah. Pembenaran di hati membentuk Akidah, sedangkan ucapan dan amal perbuatan dituntun oleh Syariat. Ahlus Sunnah tidak memisahkan antara Akidah dan Syariat. Sebagaimana bisa dipahami dari Dua Kalimat Syahadat; Asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Kalimat pertamamenunjukkan komitmen seorang Muslim kepada Akidah Tauhid, sedangkan kalimat kedua menunjukkan komitmennya kepada Syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan agar kita tunduk dan patuh kepada Syariat Allah SWT. Antara lain sebagai berikut:

-“Dan siapa yang mencari agama selain Islam, tidak akan diterima darinya, dan dia kelak di Akhirat termasuk bagian orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85). Keluasan ajaran Islam meliputi Akidah, Syariah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, dan sebagainya. Meninggalkan salah satu bagian ajaran Islam akan menyebabkan rusaknya agama.

-“Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah (totalitas). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sebab ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Al Baqarah: 208). Mengikuti ajaran Islam secara setengah-setengah (tidak kaaffah) adalah sama dengan mengikuti langkah-langkah syaitan.

-“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka mengibadahi-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Ibadah kita tidak akan diterima, jika tidak dilakukan secara ikhlas dan sesuai Syariat (Sunnah) Nabi Saw.

-“Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, maka jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32). Dalam ayat ini, mengingkari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya disebut sebagai orang kafir. Na’udzubillah minal kufri wal kafirin.

-“Jika kalian berselisih pendapat dalam satu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” (An Nisaa’: 59). Jika kita beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah kita mengembalikan setiap perselisihan yang ada kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sekalipun hanya satu perselisihan.

-“Maka demi Rabb-mu, pada dasarnya mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad Saw.) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat atas apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerahkan diri sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65). Seseorang yang tidak menjadikan Rasulullah Saw. sebagai rujukan hukum, dia dianggap tidak beriman. Perhatikan, ayat ini dimulai dengan sumpah, “Wa Rabbika” (demi Rabb-mu Muhammad).

-“Maka putuskan perkara di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan (hukum-Nya), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al Maa’idah: 48). Selain kita diperintahkan tunduk kepada hukum Allah, kita juga dilarang mengikuti hawa nafsu dengan meninggalkan tuntunan Allah.

Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan kita menghukumi perkara-perkara di antara manusia dengan hukum Allah. Bahkan istilah at taqwa, at tha’ah, amal shalih, dan al ihsan, kesemua itu selalu dikaitkan dengan ketundukan kepada hukum Allah. Dan ketaatan kepada hukum Allah ini telah dicontohkan sendiri oleh Nabi Saw. dan para Khulafaur Rasyidin. Hal itu kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa Muslim selama ribuan tahun.

Baru di jaman ini ada sebagian orang yang sangat ngeyel dengan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Kufrun duna kufrin” (kekafiran kecil, bukan kekafiran yang mengeluarkan dari Islam). Mereka kalahkan ayat-ayat Allah dan pengamalan Nabi Saw. dan kaum Muslimin selama ribuan tahun dengan ucapan Ibnu Abbas itu. Seolah mereka hendak berhukum dengan ucapan Ibnu Abbas ketika menafsirkan satu ayat Al Qur’an (Al Maa’idah ayat 44). Sementara mereka tidak menengok Ibnu Abbas ketika beliau menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an lainnya tentang kewajiban berhukum dan menghukumi dengan Syariat Allah.

Pertanyaannya, ketika Ibnu Abbas mengucapkan tafsir tersebut, hukum apa yang berlaku di negerinya? Apakah hukum Belanda, hukum Perancis, hukum Anglo Saxon, hukum Mongolia, hukum Majapahit, atau hukum Badui? Apakah Ibnu Abbas di waktu itu tinggal di sebuah wilayah Islam, atau tinggal di suatu negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam? Pernahkah Anda mendapati suatu dalil, bahwa para Shahabat radhiyallahu ‘anhu berbodong-bondong pindah ke negeri-negeri yang tidak berhukum Islam, lalu mereka rela tinggal di dalamnya, bernaung di bawah hukum selain Syariat Islam, dengan berpedoman kepada tafsir Ibnu Abbas “Kufrun duna kufrin” itu? Tidak ada dalilnya sama sekali.

Singkat kata, kebenaran komitmen tauhid seseorang bisa tercermin dari sikapnya kepada Syariat Islam. Mereka yang bersusah payah mencari takwil dalam masalah yang terang-benderang ini, pada dasarnya mereka telah salah langkah dan menelanjangi dirinya sendiri. Wal ‘iyadzubillah.

Kendala Penegakan Syariat Islam

Upaya menegakkan Syariat Islam di Indonesia, tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala-kendala yang menghambat, antara lain:

-Kesadaran rendah Ummat Islam Indonesia tentang pentingnya penegakan Syariat Islam. Sudah bukan rahasia lagi, masyarakat Indonesia jauh dari status siap memangku Syariat Islam.

-Tidak adanya political will dari para elit politik, khususnya para pejabat birokrasi, untuk mendukung penegakan Syariat Islam. Dalam dialog politik pada malam takbiran (30 September 2008) di TVOne yang diprakarsai oleh Republika, mayoritas elit politik Muslim tidak ada satu pun yang mendukung agenda penegakan Syariat Islam.

-Sangat kuat dan sistematiknya gerakan anti Syariat Islam yang melibatkan berbagai kekuatan politik, birokrasi, bisnis, dan asing. Mereka telah ijma’ (sepakat) untuk menghalang Syariat Islam, dengan cara apapun yang memungkinkan. Dibandingkan kekuatan Ummat Islam yang tercerai-berai, mereka memiliki begitu banyak keunggulan.

-Pendukung Syariat Islam belum memiliki konsep alternatif bagi sistem yang ada saat ini yang bersifat kuat, ilmiah, aplikatif, dan terbukti bermanfaat. Ketika kita diminta konsep alternatif, jawabannya selalu bersifat general. Padahal dalam konteks pengaturan negara, sangat butuh konsep aplikatif.

-Dan komitmen para pembela Syariat Islam sendiri terhadap misi yang dibelanya kurang. Kalau disuruh diskusi soal keunggulan Syariat Islam, setiap orang memiliki segudang ide untuk diungkapkan. Tetapi ketika disuruh tunduk kepada Syariat dengan cara meninggalkan sesuatu yang disukai, belum tentu mereka bersedia memenuhinya.

Kalau mau jujur, para pembela Syariat Islam pun belum tentu siap bertaslim (menyerahkan diri), ketika telah dideklarasikan berlakunya sistem Syariat Islam mengatur kehidupan negara. Jika hanya sebatas slogan atau teori, atau komoditas politik, mungkin banyak yang mengklaim mendukung Syariat Islam.

Kelemahan ‘Piagam Jakarta’

Ketika berbicara tentang agenda penegakan Syariat Islam di Indonesia, sebagian besar perhatian terfokus kepada Piagam Jakarta. Para aktivis Islam menuntut agar negara mengakomodir isi Piagam Jakarta dalam lembaran-lembaran hukum negara. Kalimat terpenting dari Piagam Jakarta ialah: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Inilah 7 kata yang sangat diharapkan bisa diterima dalam konstitusi NKRI. Jika 7 kata ini diterima, banyak pihak meyakini kehidupan bangsa Indonesia akan seketika berubah menjadi gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo.

Dalam pandangan saya, wallahu a’lam bisshawaab, konsep Piagam Jakarta mengandung beberapa kelemahan serius. Kalau ia dilaksanakan, bukan barakah yang kita peroleh, tetapi bisa menjadi sebaliknya. Kelemahan Piagam Jakarta antara lain sebagai berikut:

(1)Sebelum dihapuskan dari UUD 1945, posisi 7 kata Piagam Jakarta berada dalam pembukaan konstitusi. Artinya, ia bukan konstitusi itu sendiri, tetapi menjadi “sub hukum” dari sebuah konstitusi. Dalam sistem Islami, Syariat Islam tidak boleh ditundukkan di bawah hukum lain. Ia hukum mandiri dan terhormat, tidak boleh menjadi sub dari konstitusi lain. Al Qur’an menegaskan, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah, bagi kaum yang yakin?” (Al Maa’idah: 50). Jika Syariat Islam hanya menjadi “sub hukum”, maka ia akan mudah dieliminir, jika sewaktu-waktu tidak disukai oleh kelompok politik tertentu. Dan kenyataannya, tindakan eliminasi itu sudah dilakukan sejak 18 Agustus 1945 sampai saat ini.

(2)Substansi 7 kata Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) mengandung kesalahan serius. Dalam Sistem Islami, hukum Islam tidak hanya berlaku bagi Ummat Islam, tetapi juga mengikat pemeluk agama lain. Memang dalam masalah ibadah ritual, Syariat Islam tidak bisa mengintervensi kebebasan ibadah agama lain; tetapi dalam masalah muamalah, norma sosial, dan hukum pidana, semua pihak terikat oleh hukum Islam. Di masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, pelaku kriminal yang beragama Islam, Yahudi, atau Nashrani mendapat sanksi secara adil. Keadilan hukum Islam berlaku bagi semua kalangan. “Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum (misalnya Yahudi), membuat kalian berlaku tidak adil. Berbuat adillah, sebab adil itu lebih dekat ke takwa.” (Al Maa’idah: 8). Asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan keinginan sebagian Shahabat untuk berbuat tidak adil kepada seorang Yahudi, lalu Allah menegur hal itu. Meskipun Yahudi sudah masyhur sifat-sifat buruknya, mereka tetap berhak mendapat keadilan hukum. Syariat Islam menjangkau pihak Muslim dan non Muslim.

(3)Jika hukum Islam hanya berlaku bagi Muslim, lalu bagaimana dengan pemeluk agama lain? Apakah perlu dibuat standar hukum lain bagi warga non Muslim? Berlakunya dua standar hukum di sebuah negara adalah cermin ketimpangan sistem tatanegara yang serius. Nanti, setiap orang akan memilih hukum semaunya, selama menguntungkan hawa nafsunya.

(4)Jika hukum Islam berlaku bagi Muslim, apakah berarti para pemeluk agama lain boleh berhukum dengan hukum agama masing-masing? Jika demikian, berarti dalam suatu negara terdapat banyak standar hukum. Kalau kemudian sebagian Ummat Islam merasa bahwa sanksi hukum Islam lebih berat dibandingkan hukum-hukum lain, bisa jadi mereka ada keinginan murtad untuk menghindari sanksi hukum Islam. Bagi pemeluk agama lain, mereka bisa melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Syariat Islam dengan tidak khawatir akan dihukum, sebab mereka dihukumi sesuai hukum agama masing-masing. Jika demikian realitasnya, maka pelaksanaan hukum Islam di suatu negeri tidak akan membawa berkah, justru musibah.

Konsep seperti ini jika akhirnya terlaksana, bisa mengundang banyak masalah-masalah yang merugikan Ummat Islam sendiri. Betapa sulitnya membangun peradaban Islami dengan dasar konsep seperti itu. Ada baiknya kita bersyukur kepada Allah, bahwa Piagam Jakarta tidak pernah terlaksana. Sebab jika terlaksana, justru akan mempersulit posisi kaum Muslimin sendiri. Konsep Piagam Jakarta itu harus diperbaiki, diganti konsep lain yang lebih lurus dan maslahat menurut Syariat Islam. Dan sebagai gantinya tidak harus “Spirit Piagam Madinah”, sebab konsep seperti itu sama saja dengan meniadakan keunggulan Ummat Islam sebagai kaum mayoritas di Indonesia. Mayoritas disana diposisikan sejajar dengan minoritas.

Gerakan Islam jangan ragu-ragu untuk bercita-cita membangun Konstitusi Islami yang berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Kita tidak perlu ragu untuk mengatakan, “Kami mendambakan berdirinya negara Islami yang berkonstitusi Syariat Islam, berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.” Selama tidak ada aturan UU yang melarang kita memiliki cita-cita seperti ini, jangan ragu untuk meneguhkannya. Kecuali, jika di kemudian hari muncul UU yang melarang cita-cita seperti itu, kita boleh memikirkan cara lain.

Begitu pula, dalam memperjuangkan Konstutusi Islami, sebaiknya jangan memakai cara-cara yang berbau kekerasan. Cara kekerasan sangat mudah dijadikan dalih untuk menghancurkan upaya-upaya dakwah menegakkan Syariat Islam yang telah ditempuh dengan susah-payah sampai saat ini. Kita bisa memperjuangkan misi mulia ini dengan membangun kesadaran, menunjukkan argumentasi, menjelaskan berbagai syubhat, menempuh dialog damai, dll.

Ke depan, jangan lagi ragu-ragu untuk meneguhkan cita-cita: “Kami ingin membangun negara Islami secara damai!” Konsep Piagam Jakarta sebaiknya direvisi, diganti konsep lain yang lebih baik. Mungkin ia sesuai dengan jamannya, tetapi tidak menguntungkan untuk realitas saat ini. Sebagaimana Piagam Madinah yang disepakati oleh Nabi dengan kaum Yahudi, ia cocok di awal-awal kehidupan Islam di Madinah, tetapi menjadi tidak cocok ketika berkali-kali kaum Yahudi Madinah melakukan pengkhianatan. Kemungkinan merevisi suatu konsep perjuangan adalah sangat niscaya, sebab tidak ada rumusan manusia yang abadi, hanya Kitabullah dan Sunnah yang bersifat permanen di segala jaman.

Strategi Politik Islami

Jika Piagam Jakarta dianggap lemah, lalu bagaimana solusinya? Disini kita perlu menjawab pertanyaan ini, dengan memohon petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Setidaknya ada 3 langkah strategis yang perlu dilakukan Ummat Islam, khususnya gerakan-gerakan pro penegakan Syariat Islam, yaitu:

((1)) Kita harus memperjuangkan misi membangun Konstitusi Islami berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah secara terbuka, tetapi dengan metode damai. Kita tidak melakukan aksi-aksi kekerasan, tetapi dengan cara membangun kesadaran, menjabarkan argumentasi yang baik, dan langkah-langkah implementasi Syariat Islam secara praktis dalam kehidupan. Jujur saja akui, “Saya Muslim! Saya mendambakan negara Islami yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.”

((2)) Jika upaya di atas tidak memungkinkan karena terhalang oleh aturan-aturan negara yang melarang hal itu, kita bisa memperjuangkan substansi Syariat Islam. Bentuknya, dengan memperjuangkan 5 Tujuan Syariat Islam (Al Maqashidul Khamsah) yaitu: Menjaga jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan kaum Muslimin. Jika perjuangan secara verbal dihalangi, kita tempuh perjuangan substansial. Wadahnya bisa apa saja, strateginya bisa bagaimana saja, asalkan maknanya menjaga hak-hak kehidupan Ummat Islam. Bukan dengan sikap oportunis, yaitu menjual agama dengan tujuan memenuhi ambisi pribadi.

((3)) Menghidupkan dakwah amar makruf nahi mungkar di luar parlemen. Secara sosial, kita bisa membangun masyarakat yang lebih Islami dengan menggalakkan amar makruf nahi mungkar. Hal ini boleh-boleh saja, dengan alasan kita adalah Islam, dan dakwah yang kita gulirkan ditujukan kepada sesama Muslim. Toh, negara ini negara religius, bukan negara ateis, liberalis, atau materialis. Artinya, pengembangan kehidupan beragama tentu diperbolehkan. Untuk menghindari benturan-benturan sosial, lakukan amar makruf nahi mungkar itu secara simpatik, damai, persuasif. Tidak perlu dengan kekerasan.

Dengan tiga langkah di atas, insya Allah kita tidak akan pernah kehabisan ide perjuangan dan amal. Perjuangan ini bisa bernafas panjang, tak dibatasi oleh waktu dan generasi. Kita pun tidak perlu terjebak dalam konsep-konsep yang bisa menyempitkan ruang-ruang kesempatan bagi Ummat ini.

Realitas Bangsa Majemuk

Saya menduga, munculnya konsep Piagam Jakarta lebih karena pertimbangan realitas kemajemukan bangsa Indonesia. Kalau membaca tulisan Al Ustadz Adian Husaini, berjudul Peringatan 62 Tahun Piagam Jakarta, dimuat di hidayatullah.com, beliau kemukakan bukti-bukti tentang visi kompromi itu.

Setelah penyusunan Piagam Jakarta, Soekarno berbicara di depan BPUPKI, “Di dalam preambule (pembukaan UUD –pen.) itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (BPUPKI –pen). Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan Syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.”

Lebih jelas lagi Soekarno mengatakan, “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.” Soekarno juga mengatakan, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat ‘dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ sudah diterima Panitia ini.” Jelas bahwa Piagam Jakarta adalah konsep kompromi antara golongan-golongan ideologi di Indonesia. (Namun di kemudian hari Soekarno mengkhianati ucapan dan komitmennya sendiri. Dia telah memberi “contoh baik” kepada bangsa Indoneisa, cara mengkhianati ucapan sendiri).

Di Nusantara ini terdapat sekitar 1300 pulau, memiliki ratusan suku/etnik dengan bahasa masing-masing. Mengumpulkan seluruh potensi keragaman di bawah Syariat Islam bukanlah perkara mudah. Mungkin, karena pertimbangan itu, lalu para senior kita pejuang Islam di masa lalu mengemukakan Piagam Jakarta. Isi Piagam Jakarta dianggap sebagai kompromi untuk menyikapi realitas kemajemukan bangsa Indonesia. Di negeri ini setidaknya terdapat 5 agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Di luar itu sebenarnya masih ada berbabagai macam aliran kepercayaan, baik yang diakui maupun dianggap sesat. Kalau menyadari kenyataan ini rasanya mustahil akan melaksanakan Syariat Islam.

Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah melontarkan sindiran sinis, “Kalau Syariat Islam diterapkan di Indonesia, maka persatuan akan menjadi persatean.” Maksudnya, persatuan bangsa Indonesia selama ini akan berubah menjadi konflik berdarah-darah antar sesama anak bangsa, jika Syariat Islam diterapkan. Atau dengan logika Hatta, “Nanti Indonesia Timur akan memisahkan diri dari RI.” Dalam Debat Partai di TVOne itu, wakil PDS juga berkali-kali mengingatkan akan ancaman perpecahan itu.

Atas berbagai sinisme, tuduhan, atau ketakutan seputar perpecahan ini, kita bisa memberikan jawaban sebagai berikut:

((a)) Mengapa Syariat Islam sedemikian rupa disikapi secara antipati, padahal sejak merdeka kita selalu melestarikan “syariat Belanda”? Bukankah pemikiran-pemikiran yang menjiwai konstitusi dan sistem tata negara kita berasal dari pengaruh pendidikan Belanda? Bahkan KUHP kita juga “mencangkok” dari Belanda. Istilah-istilah hukum atau istilah ketata-negaraan, masih banyak yang memakai istilah Belanda. Apakah terhadap “syariat penjajah” itu boleh-boleh saja, sementara terhadap Syariat Islam yang telah membebaskan Indonesia dari penjajahan selalu disikapi antipati? Jawablah dengan sepenuh kejujuran hati!

((b)) Bangsa Indonesia selama ini sudah kenyang dengan pengalaman berhukum dengan hukum sekuler/Belanda, lalu kita tahu hasilnya. Bangsa ini bukannya menjadi adil, makmur, tata tentrem kerta raharjo, tetapi malah terpuruk dalam sistem penjajahan model baru. Penderitaan, sengsara, dan hina menjadi wajah kontemporer negeri ini. Tidakkah hal itu membuktikan, bahwa sistem hukum yang kita pakai adalah keliru? Kemudian lihatlah berbagai dampak positif dari penerapan nilai-nilai Islam seperti dalam UU Perkawinan, UU Zakat, UU Perbankan Syariah, sistem pendidikan Islam, legalisasi jilbab, label halal MUI, dan lain-lain! Apakah penerapan Syariat Islam yang aplikatif itu lebih banyak merugikan bangsa atau menguntungkan? Semua kalangan merasakan, bahwa sistem hukum Islam aplikatif itu sangat besar maslahatnya. Alhamdulillah. Apakah bangsa ini mau disebut bangsa tidak berakal, karena tidak bisa membedakan dampak dua jenis hukum itu?

((c)) Terhadap wilayah-wilayah yang dihuni oleh mayoritas Kristen atau Katholik, kita bisa merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat khusus, dengan semangat sinergis, saling menghargai antara kepentingan Muslim dan non Muslim. Hukum Islam tidak mencampuri hak-hak ritual peribadahan, tradisi komunitas, dan identitas keagamaan mereka. Namun dalam masalah-masalah yang menyangkut hukum secara umum, dalam hal pidana dan perdata, tentu diseragamkan agar tidak pilih kasih. Toh, tujuan penegakan hukum juga untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Disini kita bisa mencontoh spirit sinergi yang dilakukan Rasulullah dan kaum Yahudi Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah. (Mohon dibedakan antara Piagam Madinah sebagai spirit konstitusi secara umum, dengan Piagam Madinah dalam kasus-kasus khusus).

((d)) Terhadap wilayah-wilayah yang dihuni oleh mayoritas penganut Hindu, juga perlu dirumuskan ketentuan hukum yang bersifat khusus dan sinergis. Dalam hal ini kita harus ingat, bahwa Rasulullah Saw. juga pernah menandatangani kesepakatan damai dengan orang-orang Makkah di Hudaibiyyah. Kita butuh kesepakatan untuk saling menjaga kepentingan masing-masing dan tidak merugikan pihak lain.

((e)) Secara umum Syariat Islam melarang wilayah-wilayah yang mayoritas berpenduduk non Muslim untuk memisahkan diri. Hal itu merupakan bughat (pembangkangan) yang berbahaya. Perjanjian atau kesepakatan bisa diupayakan, dengan menutup segala celah bagi gerakan separatisme. Jika kesepakatan itu kemudian dilanggar, perlu dilakukan berbagai upaya damai untuk maju ke meja perundingan dan menghindari konflik. Jika langkah damai masih dilanggar juga, maka Jihad Fi Sabilillah akan menjawabnya. Langkah terakhir ini persis seperti ucapan almarhum KH. Wahid Hasyim, mantan Ketua PBNU, ketika beliau mengecam pidato Soekarno di Amuntai sekitar tahun 1953. Beliau menentang keras jika Syariat Islam dianggap tidak bisa menghadapi ancaman separatisme dari Indonesia Timur.

Idealnya, Syariat Islam bisa ditegakkan sempurna seperti di jaman Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Tetapi jika tidak mampu, ya kita tunaikan sebagian, asal jangan ditinggalkan sama sekali. Seperti sebuah kaidah Islami, “Sesuatu yang tidak bisa diambil semuanya, tidak ditinggalkan sebagiannya.” Dengan ijin dan rahmat Allah, insya Allah kendala-kendala penegakan Syariat Islam bisa dicarikan solusi sebaik-baiknya. Saya rasa hal itu bisa menjawab omong kosong Syafi’i Ma’arif, seorang pengagum berat Hatta, yang sangat alergi dengan penerapan Syariat Islam. Padahal, seseorang yang antipati kepada Syariat Islam, dia bisa keluar dari agama ini tanpa disadarinya. Toh, Islam tidak pernah merasa butuh kepada orang-orang seperti itu. Ironis sekali, mereka merasa dirinya penting dan dibutuhkan oleh Islam, padahal Islam mengatakan kepadanya, “Lu tuh siapa, man?” Justru tanpa kemurahan Islam, mereka tidak punya apa-apa!

Demikian sekelumit artikel yang bisa saya goreskan. Isi artikel ini adalah wacana, bisa benar bisa pula tidak. Namun saya bertanggung-jawab atas isinya. Saya bersedia berdialog, menerima masukan, atau menelaah kajian tertentu yang ditujukan untuk mengkritisi tulisan ini. “Kebenaran lebih utama dari apapun,” kata Ibnu Baz rahimahullah menasehatkan.

Akhirnya, setiap yang benar datang dari Allah Ta’ala, sedangkan yang salah dari diriku sendiri dan bisikan syaitan. Semoga Allah memudahkan jalan bagi kaum Muslimin Indonesia untuk memperbaiki hidupnya melalui perbaikan aturan, dari sistem non Islam menjadi sistem Islami. Semoga Allah memberi kita istiqamah dalam memperjuangkan agama-Nya, dan semoga Allah Ta’ala menjaga kita, keluarga, dan kaum Muslimin dari segala kebinasaan fitnah dan kezhaliman musuh-Nya. Amin Allahumma amin. Wallahu a’lam bisshawaab.

Bandung, 20 Oktober 2008.

[Abu Muhammad Waskito].

No comments: