Tuesday, December 16, 2008

FATWAKANLAH WAJIBNYA MENERAPKAN SYARIAH ISLAM!

Buletin Al-Islam  Edisi  434

Golput haram? Itulah salah satu isu yang mengemuka baru-baru ini. Awalnya adalah Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menggagas agar MUI mengeluarkan fatwa 'haram' bagi siapa saja yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009. HNW, yang mantan Presiden PKS dan kini Ketua MPR-RI, tentu punya alasan. Dalam sebuah acara dialog di sebuah televisi swasta tadi malam (TVOne, 15/12/08), HNW mengulang kembali alasan mengapa dirinya mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ia menyatakan, berdasarkan UU yang ada, memilih memang hak. Namun, dalam konteks mewujudkan kemaslahatan, menurutnya Pemilu harus terwujud, dan itu tidak mungkin terjadi jika masyarakat ramai-ramai golput. Demikian kira-kira alasan 'rasional' HNW.

Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain menganggap tindakan demikian 'tidak cerdas'. Bahkan mereka menilai fatwa 'golput haram' menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan hak asasi pemilih. "Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat karya yang konkret." Demikian komentar pengamat politik Arya Bima (13/12/2008).

Kerisauan Penikmat Demokrasi

Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini, boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah Pilkada pada tahun 2008 bahkan ”dimenangi” oleh golput. Golput di Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%–40%, bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu 2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004 yang 'hanya' mencapai 20 persen.

Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi 'pemenang', penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang legitimated.

Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah, ada yang kemudian 'tergoda' untuk menggunakan 'bahasa agama', yakni 'fatwa' untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009. Seolah-olah, 'perang terhadap golput' harus dilancarkan, di antaranya melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi 'jurus ampuh' yang bisa mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi. Jadinya, 'fatwa' sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar'i; seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.

Alasan di Balik Golput

Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini masyarakat tampaknya mulai 'melek politik'. Masyarakat mulai sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran, kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya justru sering 'mempecundangi' rakyat. Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya. Para wakil rakyatlah yang juga 'berjasa' dalam mengesahkan sejumlah UU yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.

Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat. Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya, saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie—induk perusahaan PT Lapindo Brantas—kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.

Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu, dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja; tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.

Sebuah 'Warning'

Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan ‘warning’ (peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih dijadikan sebagai 'kuda tunggangan' yang super komersial, siap 'direntalkan' kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang memiliki modal (baca: uang) melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam. Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.

Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!

Fatwakanlah Syariah Islam!

Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi. Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai 'pintu masuk' oleh para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU—yang notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR—melalui proses demokrasi?

Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi yang hendak difatwakan. 

Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.

Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08).

Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.

Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.

Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini, yang dibebankan kepada setiap Muslim.

Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi. Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri kesengsaraannya.

Inilah penjelasan yang (sejelas-jelasnya) bagi manusia supaya mereka mendapatkan peringatan dengannya.  (QS Ibrahim [14]: 52). []

Komentar:

PPP Incar Pemimpin Baru (Kompas, 16/12/2008)

Incarlah pemimpin Muslim yang mau menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara.

BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)

Majelias Ulama Indonesia,
MENIMBANG :

  1. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
  2. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
  3. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.

MENGINGAT :

  1. Firman Allah SWT, antara lain :
    Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
  2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
    Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
    Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
    Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
    Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
    Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
    Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
    Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
  3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)

MEMPERHATIKAN :

  1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
    Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
    Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
    1. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an :
    2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary :
    3. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
    4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an :
    5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan :
    6. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
    7. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
    8. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
  2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
  3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
    1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
    2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
    3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
    4. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
    5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
  4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
  5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
  6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
  7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
  8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN

MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba

    1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
    2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

Kedua : Hukum Bunga (interest)

    1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
    2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional

    1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
    2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

Jakarta, 05 Djulhijah 1424H
24 Januari 2004 M

 

MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA

Ketua                           Sekretaris
K.H. Ma’ruf Amin                      Drs. Hasanudin ,M.Ag.

 

Haruskan berharap pada OBAMA?

Sunday, December 14, 2008

Khalifah ke-2: Umar bin Khattab dan Ibu Pemasak Batu

http://www.dakwatuna.com/2007/umar-dan-ibu-pemasak-batu/

 

Suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.

Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”

Umar menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”

Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.

Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.

Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.

Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.

“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.

Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”

“Apakah ia sakit?”

“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”

Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.

Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”

Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”

Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”

Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.

“Buat apa?”

Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”

Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.

Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”

Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”

Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika tersuruk-suruk Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.

 

Wednesday, December 10, 2008

Musdah Mulia: Rajin Menyerang Islam, Raih Yap Thiam Hien Award 2008

HTI-Press. Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien 2008 kepada Musdah Mulia. Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dinilai gigih dalam memperjuangkan hak asasi manusia (HAM).

“Siti Musdah Mulia adalah tokoh perempuan yang cerdas, berani dan gigih memperjuangkan pluralisme, hak-hak perempuan dalam Islam, civil liberties dan kesetaraan hak-hak konstitusional setiap warga negara dalam demokrasi Indonesia,” kata Wakil Yap Thiam Hien Award sekaligus juri, Todung Mulya Lubis, di Jakarta, Kamis (4/12).

Selain pernah menawarkan gagasan baru di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan pendekatan jender, hak asasi manusia, dan demokrasi, Musdah diangap giat mengadvokasi kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah, dan kelompok gay dan lesbian.

Dewan Juri, lanjut Todung memuji pemikiran-pemikiran Siti yang menjembatani kondisi kekinian. “Misalnya soal Undang-undang pornografi, Siti menolak peraturan tersebut karena maraknya kekerasan mengatasnamakan agama dan keyakinan tertentu, premanisme berkedok agama seakan mendapatkan justifikasi dari undang-undang ini,” ujarnya. “Bahkan dia berjuang jauh sebelum undang-undang itu disahkan”.

Yap Thiam Hien Award merupakan anugerah yang diberikan bagi tokoh atau institusi yang gigih memperjuangkan hak asasi manusia. Gagasan ini dirintis pada tahun 1992 oleh sejumlah tokoh, seperti Jakob Oetama, Goenawan Mohammad, Dhaniel Dhakidae, serta pengacara Todung Mulya Lubis. Penghargaan ini diambil dari nama seorang pejuang HAM, Yap Thiam Hien. Tokoh-tokoh HAM ini adalah mereka yang sekarang dikenal sebagai anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Sebelum tahun 2005, para pemenang penghargaan ini memperoleh uang dalam jumlah besar. Pernah nilainya mencapai 125 ribu dolar AS (kini Rp 1,375 milyar, kurs 1 US$=Rp 11.000). Yayasan mengakui uang ini bantuan dari donator, tapi tidak disebutkan darimana dana itu. Hanya saja beredar kabar uang itu dari dana asing.

Bukan hanya kali ini Musdah memperoleh penghargaan. Pada Hari Perempuan Dunia 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di Washington. Ia dianggap wanita Asia ”pemberani”. Saat itu pun dia mengaku siap dikatakan sebagai ‘antek Amerika’.

Selama ini sepak terjang Musdah nyata sekali ingin menyerang dan berusaha menghancurkan akidah umat Islam. Dia mengajukan gagasan baru yang bersumber dari paham sekuler-liberal. Dan untuk aktivitasnya tersebut, Musdah mendapat dukungan dana dari Amerika. Misalnya saja ketika menyusun draft Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) pada 2004, dia dibantu Rp 6 milyar dari The Asia Foundation, yayasan dari Amerika yang mendukung liberalisme.

Kendati banyak ditentang oleh para ulama, rupanya Musdah tidak peduli. Dia terus saja menyebarkan virus akidah ke tengah-tengah umat Islam. Beberapa virus yang disebarkan itu antara lain:

  • Pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri (Drat CLD-KHI).
  • Semua laki-laki dan perempuan sama, tak peduli etnis, kekayaan, posisi-posisi sosial, bahkan orientasi seksualnya. “Tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka,” katanya.
  • Ia bersama kalangan liberal menulis Fiqih Lintas Agama. Isinya banyak membuang makna teks Alquran dan menggunakan konteks kekinian secara amburadul berdasarkan pandangan-pandangan Barat.

Orang-orang seperti Musdah Mulia ini akan terus mendapat dukungan dari musuh-musuh Islam. Mereka akan senantiasa dibantu untuk melakukan aktivitasnya melemahkan umat Islam. Alih-alih membela Islam yang sebenarnya minoritas di dunia, mereka justru membela dan memuja Barat yang justru menjajah negeri-negeri Islam. (LI/mj)

Yang Paling

 

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya lalu beliau bertanya :
Imam Ghazali = " Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ? "
Murid 1 = " Orang tua "
Murid 2 = " Guru "
Murid 3 = " Teman "
Murid 4 = " Kaum kerabat "
Imam Ghazali = " Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahawa setiap yang bernyawa pasti akan mati.


Imam Ghazali = " Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ? "
Murid 1 = " Negeri Cina "
Murid 2 = " Bulan "
Murid 3 = " Matahari "
Murid 4 = " Bintang-bintang "
Iman Ghazali = " Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama".

 

Iman Ghazali = " Apa yang paling besar didunia ini ? "
Murid 1 = " Gunung "
Murid 2 = " Matahari "
Murid 3 = " Bumi "
Imam Ghazali = " Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA NAFSU. Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka."

 

Iman Ghazali = "Apa yang paling berat didunia? "
Murid 1 = " Baja "
Murid 2 = " Besi "
Murid 3 = " Gajah "
Imam Ghazali = " Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH. Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah."

 

Imam Ghazali = " Apa yang paling ringan di dunia ini ?"
Murid 1 = " Kapas"
Murid 2 = " Angin "
Murid 3 = " Debu "
Murid 4 = " Daun-daun"
Imam Ghazali = " Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan sholat "

 

Imam Ghazali = " Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? "
Murid- Murid dengan serentak menjawab = " Pedang "
Imam Ghazali = " Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Yang Paling

 

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya lalu beliau bertanya :
Imam Ghazali = " Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ? "
Murid 1 = " Orang tua "
Murid 2 = " Guru "
Murid 3 = " Teman "
Murid 4 = " Kaum kerabat "
Imam Ghazali = " Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahawa setiap yang bernyawa pasti akan mati.


Imam Ghazali = " Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ? "
Murid 1 = " Negeri Cina "
Murid 2 = " Bulan "
Murid 3 = " Matahari "
Murid 4 = " Bintang-bintang "
Iman Ghazali = " Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama".

Iman Ghazali = " Apa yang paling besar didunia ini ? "
Murid 1 = " Gunung "
Murid 2 = " Matahari "
Murid 3 = " Bumi "
Imam Ghazali = " Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA NAFSU. Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka."

Iman Ghazali = "Apa yang paling berat didunia? "
Murid 1 = " Baja "
Murid 2 = " Besi "
Murid 3 = " Gajah "
Imam Ghazali = " Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH. Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah."

Imam Ghazali = " Apa yang paling ringan di dunia ini ?"
Murid 1 = " Kapas"
Murid 2 = " Angin "
Murid 3 = " Debu "
Murid 4 = " Daun-daun"
Imam Ghazali = " Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan sholat "

Imam Ghazali = " Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? "
Murid- Murid dengan serentak menjawab = " Pedang "
Imam Ghazali = " Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sunday, December 7, 2008

Haji Pertama Dan Terakhir

Hari ini menjelang akhir tahun ke-10 Hijriah, lebih 14 abad silam. Panas dan udara gurun yang kering tetap tidak berubah, sementara kehidupan Nabi yang sangat produktif itu makin mendekati garis finish. Sebelum berpisah, Nabi mengundang umatnya di Madinah untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah secara sempurna, tanpa seorang musyrik pun terlibat di dalamnya. Ziarah ke Rumah Tuhan dan daerah sekitarnya, yang kemudian dipraktikkan selamanya di kemudian hari. Ziarah yang murni islami ini dimaksudkan pula sebagai ‘Haji Perpisahan’ atau haji al-wada’, menandai hasil akhir karir gemilang yang tidak ada duanya dari makhluk Tuhan paling sempurna.

Undangan Nabi mendapat respon luar biasa. Inilah haji pertama Nabi bersama-sama muslim. Untuk pertama kali pula sejarah mencatat pemandangan lebih 100.000 manusia, laki-laki dan perempuan, berkumpul di Madinah menyertai Nabi, sekaligus haji terakhir sebelum beliau kembali ke pangkuan Al-Khaliq. Pada 25 Dzulkaidah rombongan berangkat. Setelah menginap satu malam di Dhul-Hulaifa, esoknya Nabi mengenakan pakaian ihram diikuti seluruh anggota rombongan. Mereka berjalan bersama-sama dengan pakaian putih yang sederhana, perlambang kesederhanaan dan persamaan yang amat jelas.

Dengan seluruh kalbu Muhammad menengadahkan wajahnya kepada Tuhan sembari mengucapkan takbiah sebagai tanda syukur atas nikmat karunia Nya diikuti kaum muslimin di belakangnya: “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika. Alhamdulillah wa-ni’matu wa’sysyukru laka labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika.” (Aku datang memenuhi panggilan Mu, Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan Mu. Tiada sekutu bagi Mu …. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan Mu. Segala puji, kenikmatan dan syukur, hanya bagi Mu …. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan Mu).

Di bawah sengatan matahari gurun, di padang pasir yang tidak dikenal banyak umat, bergerak arus manusia dan kafilah menuju satu titik. Mereka menyambut panggilan Nabi Ibrahim beberapa abad silam. Tidak ada peristiwa yang membedakan seseorang dengan lainnya. Tidak pula perbedaan ras, bangsa atau warna kulit. Sesungguhnya, inilah pemandangan paling indah tentang asas persamaan bahwa semua makhluk sama di depan Tuhan. Yang membedakan, hanya kadar iman dan takwa seseorang.

Mereka memenuhi seruan Nabi untuk saling mengenal, merajut kasih sayang, keikhlasan hati dan semangat ukhuwah islamiah. Dengan penuh kesabaran pula mereka menanti tibanya Haji Akbar, dan rasa rindu bertemu Baitullah, dengan jantung berdegup keras. Sementara dunia dan sejarah menatap kagum dan heran. Dan, sejarah ibarat kakak tua yang selalu terbelenggu argumentasinya. Ia sang pembual yang membacakan Hikayat Fir’aun, Kisra, kaisar dan aristokrat yang culas. Ia penjilat dan pembohong besar yang bercerita tentang tahta, pertempuran atau perdamaian, tanpa secuil pun di usianya yang panjang itu, memihak kepada kaum miskin, papa dan tertindas. Karena itu sejarah melihat takjub kepada Nabi dan orang yang bersamanya, bertaut rasa kagum dan heran.


Haji Perpisahan


Pada 4 Dzulhijjah rombongan masuk Makkah, selanjutnya menuju Ka’bah. Muhammad datang kepada Tuhannya di hari-hari akhir hayatnya, di Maqam Ibrahim, bapak agama langit dalam sejarah umat manusia, untuk mempertanggungjawabkan hasil karya dan perjuangannya yang penuh dinamika. Dihadapan Nya pula dia meminta kesaksian kepada umat manusia bahwa dia tidak pernah berhenti bekerja, dan tak kenal lelah dalam berjuang menuntaskan risalah Nya. Dia juga memperlihatkan kepada Ibrahim, karya besar yang diawalinya, kini diantarkannya hingga batas tersebut dan digerakkannya sesuai pedoman yang digariskan.

Sesudah tawaf, Nabi shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, lalu mencium Hajar Aswad untuk kedua kalinya. Kemudian menghadapkan wajahnya ke arah Shafa, lalu lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Di situ dimaklumatkan barangsiapa yang tidak membawa hadyu (ternak kurban untuk disembelih) hendaknya mengakhiri ihramnya (tahallul) dan menjadikan ibadah itu sebagai umrah.

Hari ke-8 Zulhijjah yaitu Hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina bersama rombongannya. Selama satu hari melakukan shalat dan tinggal bersama kaumnya. Malamnya di saat sang fajar menyembul setelah Shalat Subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’ tatkala matahari mulai tampak, beliau menuju Gunung Arafat. Dalam perjalanan yang diikuti ribuan muslim yang mengucapkan talbiah dan bertakbir, Nabi mendengarkan dan membiarkan mereka dalam kekhusyuan.

Ketika sampai di perut wadi di bilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berdiri dan berkhutbah di depan lebih 100.000 orang yang mengelilinginya. Itulah peristiwa bersejarah yang dikenal dengan julukan ‘haji Perpisahan’. Peristiwa yang begitu mengesankan dan indah, serta merupakan khulasha (kesimpulan) ajaran Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada masyarakat Islam. Khutbah berlangsung di bawah panas matahari yang mampu membakar ubun-ubun, dan didengarkan dengan khidmat. Kepada Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf diminta mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar didengar di tempat yang jauh.


Pesan Penting Khutbah Perpisahan

 

“Wahai manusia sekalian, dengarkanlah perkataanku ini, karena aku tidak mengetahui apakah aku dapat menjumpaimu lagi setelah tahun ini di tempat wukuf ini.

(1) larangan membunuh jiwa dan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang hak

Wahai manusia sekalian,

Sesungguhnya darah kamu dan harta kekayaan kamu merupakan kemuliaan ( haram dirusak oleh orang lain ) bagi kamu sekalian, sebagaimana mulianya hari ini di bulan yang mulia ini, di negeri yang mulia ini.

(2) kewajiban meninggalkan tradisi jahiliyah : pembunuhan , riba

Ketahuilah sesungguhnya segala tradisi jahiliyah mulai hari ini tidak boleh dipakai lagi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kemanusiaan (seperti pembunuhan, dendam, dan lain-lain) yang telah terjadi di masa jahiliyah, semuanya batal dan tidak boleh berlaku lagi. (Sebagai contoh) hari ini aku nyatakan pembatalan pembunuhan balasan atas terbunuhnya Ibnu Rabi’ah bin Haris yang terjadi pada masa jahiliyah dahulu.

Transaksi riba yang dilakukan pada masa jahiliyah juga tidak sudah tidak berlaku lagi sejak hari ini. Transaksi yang aku nyatakan tidak berlaku lagi adalah transaksi riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya seluruh transaksi riba itu semuanya batal dan tidak berlaku lagi.

(3) mewaspadai gangguan syaitan dan kewajiban menjaga agama

Wahai manusia sekalian,

Sesungguhnya syetan itu telah putus asa untuk dapat disembah oleh manusia di negeri ini, akan tetapi syetan itu masih terus berusaha (untuk menganggu kamu) dengan cara yang lain . Syetan akan merasa puas jika kamu sekalian melakukan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu hendaklah kamu menjaga agama kamu dengan baik.

(4) larangan mengharamkan yang dihalalkan dan sebaliknya

Wahai manusia sekalian,

Sesungguhnya merubah-rubah bulan suci itu akan menambah kekafiran. Dengan cara itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian kamu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkanNya.

Sesungguhnya zaman akan terus berputar, seperti keadaan berputarnya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah bulan antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.

(5) kewajiban memuliakan wanita (isteri)

Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kamu telah mengambil mereka (menjadi isteri) dengan amanah Allah dan kehormatan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah.

Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isteri kamu dan isteri kamu mempunyai kewajiban terhadap diri kamu. Kewajiban mereka terhadap kamu adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang tidak kamu suka ke dalam rumah kamu. Jika mereka melakukan hal demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian yang baik kepada mereka.

Maka perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia sekalian..sesungguhnya aku telah menyampaikannya..

(6) Kewajiban berpegang teguh pada Al Qur’an dan as Sunnah

Aku tinggalkan sesuatu bagi kamu sekalian. Jika kamu berpegang teguh dengan apa yang aku tinggalkan itu, maka kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah nabiNya (Al-Hadis).

(7) kewajiban taat kepada pemimpin siapapun dia selama masih berpegang teguh pada al Qur’an

Wahai manusia sekalian..dengarkanlah dan ta’atlah kamu kepada pemimpin kamu , walaupun kamu dipimpin oleh seorang hamba sahaya dari negeri Habsyah yang berhidung pesek, selama dia tetap menjalankan ajaran kitabullah (Al- Quran) kepada kalian semua.

(8) Kewajiban berbuat baik kepada hamba sahaya

Lakukanlah sikap yang baik terhadap hamba sahaya. Berikanlah makan kepada mereka dengan apa yang kamu makan dan berikanlah pakaian kepada mereka dengan pakaian yang kamu pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak dapat kamu ma’afkan, maka juallah hamba sahaya tersebut dan janganlah kamu menyiksa mereka.

(9) Umat Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain

Wahai manusia sekalian.

Dengarkanlah perkataanku ini dan perhatikanlah.

Ketahuilah oleh kamu sekalian, bahwa setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, dan semua kaum muslimin itu adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan senang hati yang telah diberikannya dengan senang hati. Oleh sebab itu janganlah kamu menganiaya diri kamu sendiri.

(10) kewajiban menyampaikan khutbah Rosulullah saw kepada yang lain

Ya Allah..sudahkah aku menyampaikan pesan ini kepada mereka..?

Kamu sekalian akan menemui Allah, maka setelah kepergianku nanti janganlah kamu menjadi sesat seperti sebagian kamu memukul tengkuk sebagian yang lain.

Hendaklah mereka yang hadir dan mendengar khutbah ini menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin nanti orang yang mendengar berita tentang khutbah ini lebih memahami daripada mereka yang mendengar langsung pada hari ini.

Kalau kamu semua nanti akan ditanya tentang aku, maka apakah yang akan kamu katakan ? Semua yang hadir menjawab : Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan tentang kerasulanmu, engkau telah menunaikan amanah, dan telah memberikan nasehat. Sambil menunjuk ke langit, Nabi Muhammad kemudian bersabda : ” Ya allah, saksikanlah pernyataan mereka ini..Ya Allah saksikanlah pernyatan mereka ini..Ya allah saksikanlah pernyataan mereka ini..Ya Allah saksikanlah pernyatan mereka ini ” [Hadis Bukhari dan Muslim].



Berakhirlah Haji Wada’.Kemudian Nabi meninggalkan Makkah menuju Madinah. Beliau tinggalkan pesan-pesan yang sangat penting kelak tetap hidup sepanjang sejarah. Esensi khutbah Nabi yang takkan terlupakan, yang senantiasa bergema dan menghunjang ke seluruh hati sanubari dan jiwa umat Islam yang telah memberikan nama ‘al-Islam’ kepada agama Tauhid yang dibawa Muhammad bin Abdullah ialah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.” (QS al-Maaidah: 3).

Nabi telah menyelesaikan akhir karya besarnya, yang gigantik, risalahnya yang penting bagi dunia dan umat manusia. Tokoh terbesar sepanjang sejarah itu membaringkan kepalanya untuk selama-lamanya. Beliau wafat di tengah pendukungnya yang setia, penuh ketenteraman dan dengan ruh yang penuh taufiq untuk bertemu Kekasihnya dalam desah nafas terakhir. Ya, keharibaan Yang Maha Tinggi di surga.
 
 
 

A Mirror

 

Haji adalah rukun iman yang terakhir, yang kelima, yang diperuntukkan hanya bagi yang mampu. Mampu secara marteriil, mampu secara fisik, maupun mampu secara psikologi.

Setiap muslim sejatinya memiliki kerinduan mendalam untuk segera berkunjung ke Baitullah. Bercita-cita untuk menjadi tamu Allah meskipun sekali seumur hidup kita. Bahkan bagi yang pernah kesana, ingin segera kembali menjadi tamu Allah.

Tapi pernahkah kita sadar, apa tujuan kita berhaji? Untuk sekadar mendapatkan titel haji? Yang dengan titel tersebut kita menjadi dihormati masyarakat hingga mendapat banyak panggilan ceramah?

Pernahkah kita berfikir, bahwa haji adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban atas kehidupan kita, seperti Rasulullah SAW mempertanggung jawabkan hasil kerja keras beliau yang tiada kenal henti dan tiada kenal lelah?

Sudahkah kita siap berhadapan dengan Allah SWT untuk sanggup berkata "Ya Allah, aku sudah melakukan ini, aku sudah melakukan itu, semua demi keagungan Agama-Mu, semua demi kecintaanku kepada Rasul-Mu, semua hanya karena kecintaanku kepada-Mu, Ya Allah"? [zq]

Referensi

 

Monday, November 24, 2008

Kesalahan Konsep ‘Piagam Jakarta’

Diambil dari:

 http://abisyakir.wordpress.com/2008/10/21/kesalahan-konsep-%e2%80%98piagam-jakarta%e2%80%99/

[Perhatian: Untuk menghindari prasangka dan respon tergesa-gesa, mohon dibaca artikel ini secara runut dari awal sampai akhir. Jangan sepotong-sepotong! Terimakasih. Jazakumullah khair].

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillah Rabbil ‘alamin, wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du:

Beberapa waktu lalu, TVOne menayangkan acara Debat Partai antara PBB (Partai Bulan Bintang) dan PDS (Partai Damai Sejahtera). Acara yang tayang 16 Oktober 2008 malam itu menampilkan Sahar L. Hasan dan Anwar Shaleh dari DPP PBB, dan Jos Rahawadan dan Saat Sinaga, keduanya Ketua DPP PDS. Sebagai pendamping adalah Rahma Sarita (untuk PBB) dan Tina Talisa (untuk PDS). Isu utama yang dibahas dalam debat ini adalah penegakan Syariat Islam. PBB mengklaim mendukung penegakan Syariat Islam, sementara PDS bersikap kontra.

Seperti diakui dalam acara di atas, isu Syariat Islam atau Piagam Jakarta dianggap semakin tidak relevan di parlemen, sebab umumnya politisi-politisi Muslim lebih berorientasi ke substansi Syariat, bukan simbol-simbol. Konon, tinggal PBB yang secara formal masih mengangkat isu Syariat Islam. Dalam debat itu, wakil PBB menegaskan bahwa status Piagam Jakarta masih berkekuatan hukum, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ridwan Saidi dalam salah satu bukunya, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, menyatakan hal itu. Al Ustadz Husein Umar –semoga Allah merahmatinya- sampai meninggalnya, beliau sangat concern dengan agenda legalisasi Piagam Jakarta. Tidak segan beliau mengecam ide “Spirit Piagam Madinah” yang diusulkan politisi tertentu, khususnya dari kalangan PKS dan PAN.

Sebelumnya, secara pribadi saya memohon maaf kepada para ustadz, kyai, ajengan, guru-guru kami, dan para aktivis Islam senior, jika dalam tulisan ini saya ingin mengkritisi Piagam Jakarta. Dalam pandangan saya, Piagam Jakarta (disebut juga Jakarta Charter, diresmikan 22 Juni 1945) bukanlah suatu konsep suci yang setara dengan Wahyu, yang tidak mengenal salah dan kekurangan. Sebagai hasil rumusan manusia, bisa saja didapati kekurangan-kekurangan tertentu. Almarhum Syaikh Ibnu Baz, mantan Ketua Majlis Ulama Saudi pernah mengatakan, bahwa kebenaran itu lebih berharga dari apapun juga. Atas dasar spirit memilih kebenaran itulah, saya tulis artikel ini.

Di sisi lain, tidak berarti saya pro dengan konsep “Spirit Piagam Madinah”, sebab sikap keterus-terangan dalam Syariat Islam –selagi hal itu tidak dilarang- lebih baik daripada sikap ragu di dalamnya. Apa yang ditulis ini sebenarnya masih satu koridor dengan cita-cita senior-senior pejuang Islam di Masyumi dan lainnya yang mendambakan tegaknya Syariat Islam di bumi Indonesia. Hanya saja, untuk mencapai cita-cita itu kita harus berjalan di atas konsep yang benar, kuat, dan Islami, sehingga peluang keberhasilannya diharapkan lebih besar. Jika kita memperjuangkan konsep yang salah, khawatir tujuan kita tidak akan pernah tercapai.

Meskipun begitu, apa yang ditulis ini hanya sebatas wacana. Ia bisa benar, bisa juga salah. Saya bersedia berdialog, berdikusi, atau mendengar masukan dan nasehat dari siapapun, jika di dalamnya terdapat kebenaran. Tulisan ini sebatas wacana, jika di dalamnya terdapat kesalahan dan kekurangan, insya Allah saya akan rujuk dengan pendapat yang lebih kuat. Seperti disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa makna Al Jamaah itu adalah sepakat dengan kebenaran, meskipun kita hanya seorang diri. Sekali lagi, kepada guru-guru saya, para senior yang saya hormati, mohon dimaafkan jika ada hal-hal yang tidak berkenan.

Komitmen Syariat Islam

Komitmen kepada Syariat Islam sudah satu paket dengan keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Antara Syariat dan iman, adalah dua perkara yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Syariat tidak akan tegak, jika kita tidak mengimaninya; sementara keimanan tidak akan tumbuh di hati, jika kita tidak melaksanakan amanah Syariat Allah dan Rasul-Nya.

Akidah Ahlus Sunnah menjelaskan, bahwa keimanan itu meliputi: Pembenaran di hati, ikrar dengan lisan, dan pengamalan dengan perbuatan. Ketiganya menyatu, tidak terurai menjadi bagian-bagian terpisah. Pembenaran di hati membentuk Akidah, sedangkan ucapan dan amal perbuatan dituntun oleh Syariat. Ahlus Sunnah tidak memisahkan antara Akidah dan Syariat. Sebagaimana bisa dipahami dari Dua Kalimat Syahadat; Asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Kalimat pertamamenunjukkan komitmen seorang Muslim kepada Akidah Tauhid, sedangkan kalimat kedua menunjukkan komitmennya kepada Syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan agar kita tunduk dan patuh kepada Syariat Allah SWT. Antara lain sebagai berikut:

-“Dan siapa yang mencari agama selain Islam, tidak akan diterima darinya, dan dia kelak di Akhirat termasuk bagian orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85). Keluasan ajaran Islam meliputi Akidah, Syariah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, dan sebagainya. Meninggalkan salah satu bagian ajaran Islam akan menyebabkan rusaknya agama.

-“Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah (totalitas). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sebab ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Al Baqarah: 208). Mengikuti ajaran Islam secara setengah-setengah (tidak kaaffah) adalah sama dengan mengikuti langkah-langkah syaitan.

-“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka mengibadahi-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Ibadah kita tidak akan diterima, jika tidak dilakukan secara ikhlas dan sesuai Syariat (Sunnah) Nabi Saw.

-“Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, maka jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32). Dalam ayat ini, mengingkari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya disebut sebagai orang kafir. Na’udzubillah minal kufri wal kafirin.

-“Jika kalian berselisih pendapat dalam satu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” (An Nisaa’: 59). Jika kita beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah kita mengembalikan setiap perselisihan yang ada kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sekalipun hanya satu perselisihan.

-“Maka demi Rabb-mu, pada dasarnya mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad Saw.) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat atas apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerahkan diri sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65). Seseorang yang tidak menjadikan Rasulullah Saw. sebagai rujukan hukum, dia dianggap tidak beriman. Perhatikan, ayat ini dimulai dengan sumpah, “Wa Rabbika” (demi Rabb-mu Muhammad).

-“Maka putuskan perkara di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan (hukum-Nya), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al Maa’idah: 48). Selain kita diperintahkan tunduk kepada hukum Allah, kita juga dilarang mengikuti hawa nafsu dengan meninggalkan tuntunan Allah.

Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan kita menghukumi perkara-perkara di antara manusia dengan hukum Allah. Bahkan istilah at taqwa, at tha’ah, amal shalih, dan al ihsan, kesemua itu selalu dikaitkan dengan ketundukan kepada hukum Allah. Dan ketaatan kepada hukum Allah ini telah dicontohkan sendiri oleh Nabi Saw. dan para Khulafaur Rasyidin. Hal itu kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa Muslim selama ribuan tahun.

Baru di jaman ini ada sebagian orang yang sangat ngeyel dengan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Kufrun duna kufrin” (kekafiran kecil, bukan kekafiran yang mengeluarkan dari Islam). Mereka kalahkan ayat-ayat Allah dan pengamalan Nabi Saw. dan kaum Muslimin selama ribuan tahun dengan ucapan Ibnu Abbas itu. Seolah mereka hendak berhukum dengan ucapan Ibnu Abbas ketika menafsirkan satu ayat Al Qur’an (Al Maa’idah ayat 44). Sementara mereka tidak menengok Ibnu Abbas ketika beliau menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an lainnya tentang kewajiban berhukum dan menghukumi dengan Syariat Allah.

Pertanyaannya, ketika Ibnu Abbas mengucapkan tafsir tersebut, hukum apa yang berlaku di negerinya? Apakah hukum Belanda, hukum Perancis, hukum Anglo Saxon, hukum Mongolia, hukum Majapahit, atau hukum Badui? Apakah Ibnu Abbas di waktu itu tinggal di sebuah wilayah Islam, atau tinggal di suatu negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam? Pernahkah Anda mendapati suatu dalil, bahwa para Shahabat radhiyallahu ‘anhu berbodong-bondong pindah ke negeri-negeri yang tidak berhukum Islam, lalu mereka rela tinggal di dalamnya, bernaung di bawah hukum selain Syariat Islam, dengan berpedoman kepada tafsir Ibnu Abbas “Kufrun duna kufrin” itu? Tidak ada dalilnya sama sekali.

Singkat kata, kebenaran komitmen tauhid seseorang bisa tercermin dari sikapnya kepada Syariat Islam. Mereka yang bersusah payah mencari takwil dalam masalah yang terang-benderang ini, pada dasarnya mereka telah salah langkah dan menelanjangi dirinya sendiri. Wal ‘iyadzubillah.

Kendala Penegakan Syariat Islam

Upaya menegakkan Syariat Islam di Indonesia, tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala-kendala yang menghambat, antara lain:

-Kesadaran rendah Ummat Islam Indonesia tentang pentingnya penegakan Syariat Islam. Sudah bukan rahasia lagi, masyarakat Indonesia jauh dari status siap memangku Syariat Islam.

-Tidak adanya political will dari para elit politik, khususnya para pejabat birokrasi, untuk mendukung penegakan Syariat Islam. Dalam dialog politik pada malam takbiran (30 September 2008) di TVOne yang diprakarsai oleh Republika, mayoritas elit politik Muslim tidak ada satu pun yang mendukung agenda penegakan Syariat Islam.

-Sangat kuat dan sistematiknya gerakan anti Syariat Islam yang melibatkan berbagai kekuatan politik, birokrasi, bisnis, dan asing. Mereka telah ijma’ (sepakat) untuk menghalang Syariat Islam, dengan cara apapun yang memungkinkan. Dibandingkan kekuatan Ummat Islam yang tercerai-berai, mereka memiliki begitu banyak keunggulan.

-Pendukung Syariat Islam belum memiliki konsep alternatif bagi sistem yang ada saat ini yang bersifat kuat, ilmiah, aplikatif, dan terbukti bermanfaat. Ketika kita diminta konsep alternatif, jawabannya selalu bersifat general. Padahal dalam konteks pengaturan negara, sangat butuh konsep aplikatif.

-Dan komitmen para pembela Syariat Islam sendiri terhadap misi yang dibelanya kurang. Kalau disuruh diskusi soal keunggulan Syariat Islam, setiap orang memiliki segudang ide untuk diungkapkan. Tetapi ketika disuruh tunduk kepada Syariat dengan cara meninggalkan sesuatu yang disukai, belum tentu mereka bersedia memenuhinya.

Kalau mau jujur, para pembela Syariat Islam pun belum tentu siap bertaslim (menyerahkan diri), ketika telah dideklarasikan berlakunya sistem Syariat Islam mengatur kehidupan negara. Jika hanya sebatas slogan atau teori, atau komoditas politik, mungkin banyak yang mengklaim mendukung Syariat Islam.

Kelemahan ‘Piagam Jakarta’

Ketika berbicara tentang agenda penegakan Syariat Islam di Indonesia, sebagian besar perhatian terfokus kepada Piagam Jakarta. Para aktivis Islam menuntut agar negara mengakomodir isi Piagam Jakarta dalam lembaran-lembaran hukum negara. Kalimat terpenting dari Piagam Jakarta ialah: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Inilah 7 kata yang sangat diharapkan bisa diterima dalam konstitusi NKRI. Jika 7 kata ini diterima, banyak pihak meyakini kehidupan bangsa Indonesia akan seketika berubah menjadi gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo.

Dalam pandangan saya, wallahu a’lam bisshawaab, konsep Piagam Jakarta mengandung beberapa kelemahan serius. Kalau ia dilaksanakan, bukan barakah yang kita peroleh, tetapi bisa menjadi sebaliknya. Kelemahan Piagam Jakarta antara lain sebagai berikut:

(1)Sebelum dihapuskan dari UUD 1945, posisi 7 kata Piagam Jakarta berada dalam pembukaan konstitusi. Artinya, ia bukan konstitusi itu sendiri, tetapi menjadi “sub hukum” dari sebuah konstitusi. Dalam sistem Islami, Syariat Islam tidak boleh ditundukkan di bawah hukum lain. Ia hukum mandiri dan terhormat, tidak boleh menjadi sub dari konstitusi lain. Al Qur’an menegaskan, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah, bagi kaum yang yakin?” (Al Maa’idah: 50). Jika Syariat Islam hanya menjadi “sub hukum”, maka ia akan mudah dieliminir, jika sewaktu-waktu tidak disukai oleh kelompok politik tertentu. Dan kenyataannya, tindakan eliminasi itu sudah dilakukan sejak 18 Agustus 1945 sampai saat ini.

(2)Substansi 7 kata Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) mengandung kesalahan serius. Dalam Sistem Islami, hukum Islam tidak hanya berlaku bagi Ummat Islam, tetapi juga mengikat pemeluk agama lain. Memang dalam masalah ibadah ritual, Syariat Islam tidak bisa mengintervensi kebebasan ibadah agama lain; tetapi dalam masalah muamalah, norma sosial, dan hukum pidana, semua pihak terikat oleh hukum Islam. Di masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, pelaku kriminal yang beragama Islam, Yahudi, atau Nashrani mendapat sanksi secara adil. Keadilan hukum Islam berlaku bagi semua kalangan. “Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum (misalnya Yahudi), membuat kalian berlaku tidak adil. Berbuat adillah, sebab adil itu lebih dekat ke takwa.” (Al Maa’idah: 8). Asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan keinginan sebagian Shahabat untuk berbuat tidak adil kepada seorang Yahudi, lalu Allah menegur hal itu. Meskipun Yahudi sudah masyhur sifat-sifat buruknya, mereka tetap berhak mendapat keadilan hukum. Syariat Islam menjangkau pihak Muslim dan non Muslim.

(3)Jika hukum Islam hanya berlaku bagi Muslim, lalu bagaimana dengan pemeluk agama lain? Apakah perlu dibuat standar hukum lain bagi warga non Muslim? Berlakunya dua standar hukum di sebuah negara adalah cermin ketimpangan sistem tatanegara yang serius. Nanti, setiap orang akan memilih hukum semaunya, selama menguntungkan hawa nafsunya.

(4)Jika hukum Islam berlaku bagi Muslim, apakah berarti para pemeluk agama lain boleh berhukum dengan hukum agama masing-masing? Jika demikian, berarti dalam suatu negara terdapat banyak standar hukum. Kalau kemudian sebagian Ummat Islam merasa bahwa sanksi hukum Islam lebih berat dibandingkan hukum-hukum lain, bisa jadi mereka ada keinginan murtad untuk menghindari sanksi hukum Islam. Bagi pemeluk agama lain, mereka bisa melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Syariat Islam dengan tidak khawatir akan dihukum, sebab mereka dihukumi sesuai hukum agama masing-masing. Jika demikian realitasnya, maka pelaksanaan hukum Islam di suatu negeri tidak akan membawa berkah, justru musibah.

Konsep seperti ini jika akhirnya terlaksana, bisa mengundang banyak masalah-masalah yang merugikan Ummat Islam sendiri. Betapa sulitnya membangun peradaban Islami dengan dasar konsep seperti itu. Ada baiknya kita bersyukur kepada Allah, bahwa Piagam Jakarta tidak pernah terlaksana. Sebab jika terlaksana, justru akan mempersulit posisi kaum Muslimin sendiri. Konsep Piagam Jakarta itu harus diperbaiki, diganti konsep lain yang lebih lurus dan maslahat menurut Syariat Islam. Dan sebagai gantinya tidak harus “Spirit Piagam Madinah”, sebab konsep seperti itu sama saja dengan meniadakan keunggulan Ummat Islam sebagai kaum mayoritas di Indonesia. Mayoritas disana diposisikan sejajar dengan minoritas.

Gerakan Islam jangan ragu-ragu untuk bercita-cita membangun Konstitusi Islami yang berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Kita tidak perlu ragu untuk mengatakan, “Kami mendambakan berdirinya negara Islami yang berkonstitusi Syariat Islam, berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.” Selama tidak ada aturan UU yang melarang kita memiliki cita-cita seperti ini, jangan ragu untuk meneguhkannya. Kecuali, jika di kemudian hari muncul UU yang melarang cita-cita seperti itu, kita boleh memikirkan cara lain.

Begitu pula, dalam memperjuangkan Konstutusi Islami, sebaiknya jangan memakai cara-cara yang berbau kekerasan. Cara kekerasan sangat mudah dijadikan dalih untuk menghancurkan upaya-upaya dakwah menegakkan Syariat Islam yang telah ditempuh dengan susah-payah sampai saat ini. Kita bisa memperjuangkan misi mulia ini dengan membangun kesadaran, menunjukkan argumentasi, menjelaskan berbagai syubhat, menempuh dialog damai, dll.

Ke depan, jangan lagi ragu-ragu untuk meneguhkan cita-cita: “Kami ingin membangun negara Islami secara damai!” Konsep Piagam Jakarta sebaiknya direvisi, diganti konsep lain yang lebih baik. Mungkin ia sesuai dengan jamannya, tetapi tidak menguntungkan untuk realitas saat ini. Sebagaimana Piagam Madinah yang disepakati oleh Nabi dengan kaum Yahudi, ia cocok di awal-awal kehidupan Islam di Madinah, tetapi menjadi tidak cocok ketika berkali-kali kaum Yahudi Madinah melakukan pengkhianatan. Kemungkinan merevisi suatu konsep perjuangan adalah sangat niscaya, sebab tidak ada rumusan manusia yang abadi, hanya Kitabullah dan Sunnah yang bersifat permanen di segala jaman.

Strategi Politik Islami

Jika Piagam Jakarta dianggap lemah, lalu bagaimana solusinya? Disini kita perlu menjawab pertanyaan ini, dengan memohon petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Setidaknya ada 3 langkah strategis yang perlu dilakukan Ummat Islam, khususnya gerakan-gerakan pro penegakan Syariat Islam, yaitu:

((1)) Kita harus memperjuangkan misi membangun Konstitusi Islami berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah secara terbuka, tetapi dengan metode damai. Kita tidak melakukan aksi-aksi kekerasan, tetapi dengan cara membangun kesadaran, menjabarkan argumentasi yang baik, dan langkah-langkah implementasi Syariat Islam secara praktis dalam kehidupan. Jujur saja akui, “Saya Muslim! Saya mendambakan negara Islami yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.”

((2)) Jika upaya di atas tidak memungkinkan karena terhalang oleh aturan-aturan negara yang melarang hal itu, kita bisa memperjuangkan substansi Syariat Islam. Bentuknya, dengan memperjuangkan 5 Tujuan Syariat Islam (Al Maqashidul Khamsah) yaitu: Menjaga jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan kaum Muslimin. Jika perjuangan secara verbal dihalangi, kita tempuh perjuangan substansial. Wadahnya bisa apa saja, strateginya bisa bagaimana saja, asalkan maknanya menjaga hak-hak kehidupan Ummat Islam. Bukan dengan sikap oportunis, yaitu menjual agama dengan tujuan memenuhi ambisi pribadi.

((3)) Menghidupkan dakwah amar makruf nahi mungkar di luar parlemen. Secara sosial, kita bisa membangun masyarakat yang lebih Islami dengan menggalakkan amar makruf nahi mungkar. Hal ini boleh-boleh saja, dengan alasan kita adalah Islam, dan dakwah yang kita gulirkan ditujukan kepada sesama Muslim. Toh, negara ini negara religius, bukan negara ateis, liberalis, atau materialis. Artinya, pengembangan kehidupan beragama tentu diperbolehkan. Untuk menghindari benturan-benturan sosial, lakukan amar makruf nahi mungkar itu secara simpatik, damai, persuasif. Tidak perlu dengan kekerasan.

Dengan tiga langkah di atas, insya Allah kita tidak akan pernah kehabisan ide perjuangan dan amal. Perjuangan ini bisa bernafas panjang, tak dibatasi oleh waktu dan generasi. Kita pun tidak perlu terjebak dalam konsep-konsep yang bisa menyempitkan ruang-ruang kesempatan bagi Ummat ini.

Realitas Bangsa Majemuk

Saya menduga, munculnya konsep Piagam Jakarta lebih karena pertimbangan realitas kemajemukan bangsa Indonesia. Kalau membaca tulisan Al Ustadz Adian Husaini, berjudul Peringatan 62 Tahun Piagam Jakarta, dimuat di hidayatullah.com, beliau kemukakan bukti-bukti tentang visi kompromi itu.

Setelah penyusunan Piagam Jakarta, Soekarno berbicara di depan BPUPKI, “Di dalam preambule (pembukaan UUD –pen.) itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (BPUPKI –pen). Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan Syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.”

Lebih jelas lagi Soekarno mengatakan, “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.” Soekarno juga mengatakan, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat ‘dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ sudah diterima Panitia ini.” Jelas bahwa Piagam Jakarta adalah konsep kompromi antara golongan-golongan ideologi di Indonesia. (Namun di kemudian hari Soekarno mengkhianati ucapan dan komitmennya sendiri. Dia telah memberi “contoh baik” kepada bangsa Indoneisa, cara mengkhianati ucapan sendiri).

Di Nusantara ini terdapat sekitar 1300 pulau, memiliki ratusan suku/etnik dengan bahasa masing-masing. Mengumpulkan seluruh potensi keragaman di bawah Syariat Islam bukanlah perkara mudah. Mungkin, karena pertimbangan itu, lalu para senior kita pejuang Islam di masa lalu mengemukakan Piagam Jakarta. Isi Piagam Jakarta dianggap sebagai kompromi untuk menyikapi realitas kemajemukan bangsa Indonesia. Di negeri ini setidaknya terdapat 5 agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Di luar itu sebenarnya masih ada berbabagai macam aliran kepercayaan, baik yang diakui maupun dianggap sesat. Kalau menyadari kenyataan ini rasanya mustahil akan melaksanakan Syariat Islam.

Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah melontarkan sindiran sinis, “Kalau Syariat Islam diterapkan di Indonesia, maka persatuan akan menjadi persatean.” Maksudnya, persatuan bangsa Indonesia selama ini akan berubah menjadi konflik berdarah-darah antar sesama anak bangsa, jika Syariat Islam diterapkan. Atau dengan logika Hatta, “Nanti Indonesia Timur akan memisahkan diri dari RI.” Dalam Debat Partai di TVOne itu, wakil PDS juga berkali-kali mengingatkan akan ancaman perpecahan itu.

Atas berbagai sinisme, tuduhan, atau ketakutan seputar perpecahan ini, kita bisa memberikan jawaban sebagai berikut:

((a)) Mengapa Syariat Islam sedemikian rupa disikapi secara antipati, padahal sejak merdeka kita selalu melestarikan “syariat Belanda”? Bukankah pemikiran-pemikiran yang menjiwai konstitusi dan sistem tata negara kita berasal dari pengaruh pendidikan Belanda? Bahkan KUHP kita juga “mencangkok” dari Belanda. Istilah-istilah hukum atau istilah ketata-negaraan, masih banyak yang memakai istilah Belanda. Apakah terhadap “syariat penjajah” itu boleh-boleh saja, sementara terhadap Syariat Islam yang telah membebaskan Indonesia dari penjajahan selalu disikapi antipati? Jawablah dengan sepenuh kejujuran hati!

((b)) Bangsa Indonesia selama ini sudah kenyang dengan pengalaman berhukum dengan hukum sekuler/Belanda, lalu kita tahu hasilnya. Bangsa ini bukannya menjadi adil, makmur, tata tentrem kerta raharjo, tetapi malah terpuruk dalam sistem penjajahan model baru. Penderitaan, sengsara, dan hina menjadi wajah kontemporer negeri ini. Tidakkah hal itu membuktikan, bahwa sistem hukum yang kita pakai adalah keliru? Kemudian lihatlah berbagai dampak positif dari penerapan nilai-nilai Islam seperti dalam UU Perkawinan, UU Zakat, UU Perbankan Syariah, sistem pendidikan Islam, legalisasi jilbab, label halal MUI, dan lain-lain! Apakah penerapan Syariat Islam yang aplikatif itu lebih banyak merugikan bangsa atau menguntungkan? Semua kalangan merasakan, bahwa sistem hukum Islam aplikatif itu sangat besar maslahatnya. Alhamdulillah. Apakah bangsa ini mau disebut bangsa tidak berakal, karena tidak bisa membedakan dampak dua jenis hukum itu?

((c)) Terhadap wilayah-wilayah yang dihuni oleh mayoritas Kristen atau Katholik, kita bisa merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat khusus, dengan semangat sinergis, saling menghargai antara kepentingan Muslim dan non Muslim. Hukum Islam tidak mencampuri hak-hak ritual peribadahan, tradisi komunitas, dan identitas keagamaan mereka. Namun dalam masalah-masalah yang menyangkut hukum secara umum, dalam hal pidana dan perdata, tentu diseragamkan agar tidak pilih kasih. Toh, tujuan penegakan hukum juga untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Disini kita bisa mencontoh spirit sinergi yang dilakukan Rasulullah dan kaum Yahudi Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah. (Mohon dibedakan antara Piagam Madinah sebagai spirit konstitusi secara umum, dengan Piagam Madinah dalam kasus-kasus khusus).

((d)) Terhadap wilayah-wilayah yang dihuni oleh mayoritas penganut Hindu, juga perlu dirumuskan ketentuan hukum yang bersifat khusus dan sinergis. Dalam hal ini kita harus ingat, bahwa Rasulullah Saw. juga pernah menandatangani kesepakatan damai dengan orang-orang Makkah di Hudaibiyyah. Kita butuh kesepakatan untuk saling menjaga kepentingan masing-masing dan tidak merugikan pihak lain.

((e)) Secara umum Syariat Islam melarang wilayah-wilayah yang mayoritas berpenduduk non Muslim untuk memisahkan diri. Hal itu merupakan bughat (pembangkangan) yang berbahaya. Perjanjian atau kesepakatan bisa diupayakan, dengan menutup segala celah bagi gerakan separatisme. Jika kesepakatan itu kemudian dilanggar, perlu dilakukan berbagai upaya damai untuk maju ke meja perundingan dan menghindari konflik. Jika langkah damai masih dilanggar juga, maka Jihad Fi Sabilillah akan menjawabnya. Langkah terakhir ini persis seperti ucapan almarhum KH. Wahid Hasyim, mantan Ketua PBNU, ketika beliau mengecam pidato Soekarno di Amuntai sekitar tahun 1953. Beliau menentang keras jika Syariat Islam dianggap tidak bisa menghadapi ancaman separatisme dari Indonesia Timur.

Idealnya, Syariat Islam bisa ditegakkan sempurna seperti di jaman Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Tetapi jika tidak mampu, ya kita tunaikan sebagian, asal jangan ditinggalkan sama sekali. Seperti sebuah kaidah Islami, “Sesuatu yang tidak bisa diambil semuanya, tidak ditinggalkan sebagiannya.” Dengan ijin dan rahmat Allah, insya Allah kendala-kendala penegakan Syariat Islam bisa dicarikan solusi sebaik-baiknya. Saya rasa hal itu bisa menjawab omong kosong Syafi’i Ma’arif, seorang pengagum berat Hatta, yang sangat alergi dengan penerapan Syariat Islam. Padahal, seseorang yang antipati kepada Syariat Islam, dia bisa keluar dari agama ini tanpa disadarinya. Toh, Islam tidak pernah merasa butuh kepada orang-orang seperti itu. Ironis sekali, mereka merasa dirinya penting dan dibutuhkan oleh Islam, padahal Islam mengatakan kepadanya, “Lu tuh siapa, man?” Justru tanpa kemurahan Islam, mereka tidak punya apa-apa!

Demikian sekelumit artikel yang bisa saya goreskan. Isi artikel ini adalah wacana, bisa benar bisa pula tidak. Namun saya bertanggung-jawab atas isinya. Saya bersedia berdialog, menerima masukan, atau menelaah kajian tertentu yang ditujukan untuk mengkritisi tulisan ini. “Kebenaran lebih utama dari apapun,” kata Ibnu Baz rahimahullah menasehatkan.

Akhirnya, setiap yang benar datang dari Allah Ta’ala, sedangkan yang salah dari diriku sendiri dan bisikan syaitan. Semoga Allah memudahkan jalan bagi kaum Muslimin Indonesia untuk memperbaiki hidupnya melalui perbaikan aturan, dari sistem non Islam menjadi sistem Islami. Semoga Allah memberi kita istiqamah dalam memperjuangkan agama-Nya, dan semoga Allah Ta’ala menjaga kita, keluarga, dan kaum Muslimin dari segala kebinasaan fitnah dan kezhaliman musuh-Nya. Amin Allahumma amin. Wallahu a’lam bisshawaab.

Bandung, 20 Oktober 2008.

[Abu Muhammad Waskito].

Apa yang Diharapkan Kaum Muslim dari Barack Obama

Thursday, November 20, 2008

Berfokus pada Amal Kebaikan

http://www.eramuslim.com/oase-iman/berfokus-pada-amal-kebaikan.htm

Ada satu peristiwa berkesan yang mencerminkan tipikal utama dari masyarakat Madinah, yaitu selalu antusias untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Suatu ketika orang-orang miskin Madinah mengadu kepada Rasulullah Saw,
Ya Rasulullah, kami merasa iri dengan saudara-saudara kami yang diberi kelapangan harta. Kami sholat, mereka juga sholat. Kami berpuasa, mereka juga berpuasa. Kami bertilawah Quran, mereka juga bertilawah Quran. Tetapi begitu mereka bersedekah karena kelapangan harta mereka, kami tidak bisa seperti mereka.

Kemudian Rasulullah Saw menghibur orang-orang miskin itu dan memberikan sebuah tips kepada mereka,
Maukah aku tunjukkan amalan yang bisa menyamai mereka sebagai ganti karena engkau tidak mampu bersedekah?. Bacalah setelah sholat: subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan tutuplah dengan laa ilaaha illa allahu wahdahu laa syarilahu lahul mulku walahulhamdu wahua ‘ala kulli syaiin qodir.

Orang-orang miskin Madinah pun menerima “tips” dari Rasulullah Saw itu dengan suka cita. Kini mereka merasa terhibur dan merasa bangga karena akan segera mampu menyamai amal orang-orang kaya Madinah. Kemudian mereka pun mempraktekkannya.

Namun “tips” dari Rasulullah Saw itu pada akhirnya sampai juga di telingga orang-orang kaya Madinah, sehingga mereka pun mempraktekkan amalan yang serupa dilakukan oleh orang-orang miskin itu. Kembali orang-orang miskin Madinah itu mengadu ke hadapan Rasulullah Saw,

Ya Rasulullah, mereka (orang-orang kaya Madinah) mempraktekkan serupa amalan-amalan yang kami lakukan itu.” Rasulullah Saw menjawab bahwa itulah kelebihan mereka yang diberikan harta sementara mereka banyak bersedekah dengan harta yang dimilikinya itu.

***

Saat ini, seringkali kita memiliki persepsi yang kurang proporsional tentang kaya dan miskin. Orang kaya merasa bangga dengan kekayaannya dan menilai bahwa mereka yang miskin adalah mereka yang malas dan bodoh. Sementara orang miskin kadang merasa suci dan mencurigai bahwa orang-orang kaya telah merampas hak harta-harta mereka secara culas, dengan korupsi dan cara-cara yang melanggar rambu syari'ah. Semua itu bisa jadi disebabkan karena masing-masing tidak melihat amal kebaikan satu sama lainnya, yakni kebaikan yang tulus, tanpa motif atau tendensi apapun selain mengharapkan ridha dari Allah SWT. Orang miskin tidak pernah melihat bahwa orang kaya itu bersedekah atau beramal kebaikan, sementara orang kaya juga tidak pernah melihat orang miskin itu telah bekerja keras dan menunjukkan keseriusan dalam bekerja.

Rasulullah Saw mencontohkan dan memberi pelajaran bahwa dalam hidup ini yang seharusnya menjadi motif dan fokus adalah bagaimana agar selalu bisa berbuat baik dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan memproduksi amal sholeh. Andaipun mengejar harta, maka hasil perolehannya pun diniatkan dan diarahkan ke sana. Bukan karena prestise, status, dan motif-motif duniawi lainnya. Jika amal sholeh ini menjadi tolok ukur dari kemuliaan yang disepakati maka kaya dan miskin menjadi hal yang kurang relevan dalam kehidupan.

Alangkah indahnya jika semua elemen bangsa memiliki persepsi yang demikian. Saudara yang miskin akan mensyukuri saudaranya yang kaya karena yakin saudaranya itu akan menggunakan kekayaannya semata-semata untuk kebaikan dan menunaikan kewajiban hartanya itu dengan sempurna. Demikian juga saudara yang kaya akan selalu membantu mengentaskan saudaranya dari kemiskinan karena yakin bahwa jika ia menjadi kaya kelak, ia pun pasti akan mendayagunakan kekayaannya untuk kebaikan dan membantu saudara yang lainnya. Semua itu dibingkai oleh rasa persaudaraan (ukhuwwah) yang indah dimana masing-masing saling membantu dan bekerjasama untuk mencapai derajat yang mulia di sisi-Nya.

Kondisi real sering menampilkan hal yang sebaliknya. Yang kaya menampilkan aura bangga dan ujub, sedangkan yang miskin menampilkan aura iri dan dengki. Sebagai akibatnya, makna ukhuwwah dan persaudaraan yang hakiki makin jauh panggang dari api. Yang rugi adalah ummat ini, yang tidak pernah beranjak untuk perbaikan diri karena tidak berfokus pada inti masalah yang sejati. Yakni berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengangkat izzah dan harga diri.

Semoga Allah SWT mengaruniai kita dengan amal kebaikan atas dasar pemahaman yang benar dan ikhlas dalam melaksanakannya. Amin.