Sunday, July 20, 2008

Dari nol Lagi: Aqidah Islamiyah

bismillah

Shalawat 05

"Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakanlah oleh-Mu akan Muhammad, isteri-isterinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memuliakan kepada keluarga Ibrahim. Dan beri berkatlah oleh-Mu kepada Muhammad dan isteri-isterinya serta keturunan-keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberi berkat kepada keluarga Ibrahim: Bahwasannya Engkau sungguh sangat terpuji dan amat mulia

(HR. Bukhari dari Abu Hamid Al-Sa'idi)

112-1 (Al-Ikhlas)

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

112-2 (Al-Ikhlas)

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

(QS. Al-Ikhlas (112): 1-2)

 

 

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rasululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rasululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Allah, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”

(HR. Muslim)

Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.

Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Aqidah Islamiyah adalah pembahasan mendasar tentang keimanan kita kepada Allah SWT. Pembahasan mengenai Aqidah Islamiyah sudah ada pada kurikulum agama Islam ketika kita sekolah dulu, entah di Sekolah Dasar, Menengah Pertama, maupun Menengah Atas. Bahkan yang ketika kuliah ada mata kuliah agama Islam pun, masalah aqidah ini juga di bahas. Karena sudah berulang-kali dibahas, maka kita terkadang menyepelekan masalah aqidah kita, sehingga dapat dengan mudah berkata, itu kan urusan SD, SMP, SMA atau kuliah, bukan lagi menjadi urusan saya saat ini.

Padahal kita tahu, bahwa ini adalah urusan iman, dan urusan iman tidak dibatasi oleh jenjang sekolah maupun umur. Untuk itulah, saya merasa tidak ada salahnya untuk kembali ke nol lagi kembali membahas permasalahan ini sekali lagi.

Aqidah Islamiyah pada hakekatnya adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, kepada qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk keduanya berasal dari Allah. Inilah yang sering disebut sebagai rukun iman.

Iman itu sendiri memiliki makna pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti.

Bersifat pasti artinya 100% kebenaran atau keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun.

Dalil adalah bukti dari apa yang kita imani. Dalam Islam, hal-hal yang masih dalam jangkauan panca indra/akal kita, maka dalilnya bersifat Aqli. Jika diluar jangkauan panca indra maka harus didasarkan pada dalil Naqli (Al-Qur'an dan Al-Hadist).

Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami Islam. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi. Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Dalam perkara-perkara yang bisa diselesaikan oleh akal kita, kita boleh menggunakan dalil aqli, hanya saja perlu diingat bahwa dalil aqli yang kita gunakan harus tetap sejalan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadist.

Adapun penggunaan dalil naqli sesungguhnya juga ditetapkan dengan jalan aqli, artinya, melalui pemikiran akal untuk menentukan mana yang lebih tepat dijadikan sebagai sumber dalil naqli terhadap suatu permasalahan iman.

Dilihat dari pengertian dan penggunaannya, dapat kita pahami bahwa dalam menghadapi permasalahan iman, akal harus dapat sejalan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadist, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan dari setiap pribadi muslim.

 

Dalil Naqli dalam hal aqidah haruslah Mutawatir

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa aqidah haruslah tasdiiqul jazm yang artinya pembenaran dengan pasti. Pembenaran dengan pasti ini tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam meng-imani-nya. Harus 100% dan tidak boleh 99.9999%, hal ini karena dalam menyangkut masalah iman atau kafir, jadi yang ada adalah 100% atau tidak 100%.

Untuk itulah dalam masalah aqidah/keimanan dalil naqli yang digunakan haruslah kuat dan qath'i (pasti) serta tidak memberi peluang sedikitpun untuk ada keraguan di dalamnya.

Dalil naqli yang sudah pasti tidak ada keraguan di dalamnya pastilah Al-Qur'an, sehingga tidak ada keraguan bagi kita untuk mengimaninya.

Adapun Al-Hadist adakalanya disampaikan secara mutawatir, adakalanya juga disampaikan secara ahad. Hadist-hadist mutawatir memiliki syarat yang sangat ketat bila dibanding hadist ahad, yang mengakibatkan hadist mutawatir ini bersifat qath'i, tidak mengandung dzann, sehingga kebenarannya 100%.

Oleh sebab itu hadist ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus untuk masalah aqidah/iman, namun tetap dapat digunakan untuk masalah selain aqidah/iman.

 

Wallahu 'Alam bissawab

Alhamdulillah

 

Refrensi:

- Islam mulai akar ke daunnya

Yusuf Wibisono, dkk

- Hadist Web 2.0 

http://opi.110mb.com/

- Kumpulan Shalawat yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits - CyberMQ.com

www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/12/1/pustaka-171.html

No comments: